Republik Menangis, Ibu Pertiwi Merintih, Rakyat Peduli

Oleh: Supli Van Gobel

Aksi unjuk rasa oleh elemen mahasiswa dan masyarakat, buntut darurat di Republik Indonesia
Aksi unjuk rasa di depan gedung DPR RI (foto: Voa Indonesia)
Dalam momen-momen krisis dan kesulitan yang melanda bangsa, suara hati Republik dan tangisan Ibu Pertiwi menggambarkan penderitaan yang mendalam. Ketika negara menghadapi berbagai tantangan—mulai dari ketidakstabilan politik, korupsi, hingga krisis sosial—rasa peduli rakyat menjadi cahaya harapan di tengah kegelapan.

Baru-baru ini, gelombang rakyat melaksanakan aksi unjuk rasa di berbagai wilayah di Republik Indonesia. Bak lemburan lahar gunung merapi, rakyat di Republik ini berbondong-bondong mendatangi gedung yang dikenal dengan wakil rakyat.

Hal lumrah. Mengapa? Karena Republik ini dibentuk atas asas demokrasi.

Dimana, keterlibatan rakyat dalam proses politik, pengawasan terhadap pemerintah, dan upaya kolektif untuk perbaikan adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Hanya dengan kesadaran dan aksi nyata dari seluruh elemen masyarakat, kita dapat mengembalikan harapan dan kemajuan bagi Republik Indonesia tercinta ini.

Gelombang rakyat yang melakukan unjuk rasa besar-besaran ini diketahui, buntut dari dugaan proses konstitusi yang di “begal” oleh lembaga perwakilan rakyat.

Amanat konstitusi yang putuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan perubahan ambang batas calon kepala daerah. Partai atau gabungan partai politik (Parpol) tak harus lagi mengumpulkan minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah untuk mencalonkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Selain itu, MK juga memutuskan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ditingkat provinsi atau calon Gubernur dan Wakil Gubernur, minimal 30 tahun saat ditetapkan oleh KPU sebagai calon tetap.

Keputusan MK ini direspon baik dan positif oleh seluruh elemen rakyat Republik ini. Bagaimanapun juga, hal ini mengembalikan hak demokrasi kita. Keterwakilan suara rakyat terhadap Parpol yang sebelumnya tidak memenuhi ambang batas dan tidak bisa mengikuti kompetisi, kini menjadi bisa dengan adanya putusan MK tersebut.

Sayangnya, satu hari setelah putusan MK tersebut dikeluarkan, tepat Rabu (21/08/2024), DPR memutuskan ambang batas partai untuk mencalonkan kepala daerah dan wakilnya, dikembalikan ke aturan lama. Sedangkan usia kandidat yang diputuskan oleh MK, berusia 30 tahun saat dilantik (bukan saat di tetapkan sebagai kandidat resmi oleh KPU).

Hal ini tentunya dalam amatan saya, memuluskan rencana terhadap putera sang Presiden Republik Indonesia, Jokowi, untuk dicalonkan sebagai calon kepala daerah.

DPR nampaknya berusaha menyiasati putusan MK yang sudah sangat jelas mengikat, final berlaku untuk semuanya.

Luar biasanya, putusan MK tersebut langsung direspon oleh DPR dalam waktu satu hari saja. Tentu, ini merupakan sejarah baru di Republik ini. Hanya dalam waktu satu hari, DPR membuat undang-undang yang isinya berseberangan dengan putusan MK.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, pertama; Apakah pembentukan undang-undang itu merupakan kepentingan rakyat Republik ini?

Kedua; Apakah pembuatan undang-undang oleh DPR tersebut memiliki naskah akademiknya?

Ketiga; Apakah ada sosialisasi rancangan undang-undang tersebut?

Keempat; Apakah DPR telah mendengarkan aspirasi dan partisipasi dari rakyat?

Keempat pertanyaan ini tentu bisa terjawab jika kita melihat dan menganalisa debut pembuatan undang-undang dalam sehari oleh DPR, murni kepentingan rakyat atau kepentingan partai politik. Terjawab kan.

Beranjak dari persoalan ini, saya menegaskan bahwa dalam tulisan ini, bukan tentang kepentingan sekolompok orang, organisasi maupun lembaga. Namun secara jelas, hal ini bertentangan dengan konstitusi negara, disebut juga “pembangkangan konstitusi”.

Gerakan aksi unjuk rasa yang digelar oleh mahasiswa dan elemen masyarakat, merupakan hal yang istimewa dan perlu didukung. Hal ini didasarkan pada kepedulian Republik ini, kepedulian terhadap seluruh rakyat di Republik ini.

Tercatat dalam sejarah, gerakan unjuk rasa mahasiswa dan elemen masyarakat, menjadi satu-satunya catatan penting dalam perjalanan Republik ini. Dimana, gerakan unjuk rasa di tahun 1998, mampu menundukkan rezim hingga terjadi reformasi.

Usai digelarnya aksi unjuk rasa secara besar-besaran, Presiden Jokowi, menggelar konferensi pers atas berbagai kritikan yang berujung pada aksi massa tersebut. Jokowi mengatakan, revisi undang-undang Pilkada oleh DPR dibatalkan. Dia mengatakan pemerintah akan mengikuti putusan MK (baca: https://nasional.kompas.com/read/2024/08/23/22051071/pengesahan-revisi-uu-pilkada-dibatalkan-jokowi-pastikan-pemerintah-ikuti)

Penting untuk dicatat, sebagai warga yang hidup di negara yang menjunjung asas demokrasi, mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah maupun lembaga pemerintahan, tentu adalah bagian dari suburnya suatu sistem demokrasi bangsa, juga kemajuan bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *