Jelang Putusan Persidangan Kecurangan Pemilu: DKPP Harus Pecat Penyelenggara Pemilu Bermasalah

Oleh: Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih

Identik.News — Persidangan dugaan kecurangan pemilu, pelanggaran kode etik dengan Perkara No.10-PKE-DKPP/I/2023 di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah memasuki babak akhir.

Setelah menjalani dua kali persidangan beberapa pekan lalu, maka berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 majelis akan melakukan Rapat Pleno Putusan paling lambat akhir bulan Februari.

Atas dasar itu, penting untuk mengulas temuan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih selama proses persidangan berlangsung.

Sebelum masuk pada inti persoalan, penting dijelaskan terlebih dahulu bahwa proses persidangan DKPP merupakan bentuk tindak lanjut dari advokasi praktik dugaan kecurangan pemilu.

Sebagai gambaran sekaligus pengingat, Koalisi menerima banyak informasi dan bukti kecurangan yang disinyalir dilakukan oleh jajaran petinggi KPU RI dan penyelenggara pemilu daerah dalam tahapan verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024.

Diduga keras, pola kejahatan ini berbentuk hirarkis, yakni, adanya perintah langsung yang mengarah pada intimidasi dari KPU RI kepada KPU daerah untuk mengubah status partai politik calon peserta pemilu, dari Belum Memenuhi Syarat (BMS) menjadi Memenuhi Syarat (MS).

Sebagian besar informasi dan bukti tersebut sejak lama sudah tersebar dalam banyak pemberitaan media.

Sejak awal, proses pengungkapan dugaan pelanggaran kode etik para penyelenggara pemilu ini telah menuai hambatan. Misalnya, DKPP diketahui sempat bersikap tidak profesional dalam menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran kode etik.

Berdasarkan regulasi DKPP perkembangan pelaporan harus diberikan kepada Pelapor paling lambat lima hari setelah dokumen diserahkan. Alih-alih ditegakkan, lembaga penjaga etik penyelenggara pemilu itu justru baru memberitahukan hasil pemeriksaan administrasi setelah sebelas hari dokumen tersebut diterima.

Tidak berhenti di sana, dalam proses persidangan, Koalisi juga menemukan sejumlah keganjilan.

Pertama, persidangan dipenuhi dengan nuansa ancaman dari pihak teradu, khususnya Komisioner KPU RI yang menjadi Teradu X, Idham Holik, terhadap Pengadu.

Hal ini tampak jelas dari sikap Idham yang mempermasalahkan bukti elektronik Pengadu dengan menyertai argumentasi adanya ancaman dalam pengaturan yang ada pada perangkat hukum Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Idham juga mempertanyakan kedudukan hukum Pihak Terkait yang hadir, khususnya Ibu Yessy Momongan yang merupakan Anggota KPU Provinsi Sulut, yang belum mendapat izin hadir dalam sidang dari Pimpinan KPU sebagai atasannya.

Padahal, pihak terkait ini sungguhnya dipanggil oleh DKPP secara resmi untuk hadir dalam sidang. Dari sini terlihat bahwa Idham bukan menaruh fokus pada substansi bukti, namun melebar kepada keabsahan bukti, bahkan terkesan ingin memidanakan Pelapor.

Perbuatan serupa juga tampak dari tindakan salah seorang anggota majelis sidang, tatkala menanyakan dan memaksa mengungkap pihak yang merekam video testimoni kecurangan pemilu.

Sebagai pemeriksa, seharusnya ia memahami bahwa titik fokus pembuktian berada pada isi bukti, bukan malah isu-isu lain yang tidak relevan.

Kedua, majelis pemeriksa memberikan akses khusus kepada Terlapor untuk mengajukan alat bukti tambahan disaat persidangan pembuktian sudah selesai.

Tindakan semacam ini sangat sulit dibenarkan secara logika dan jelas melanggar ketentuan pedoman beracara di DKPP.

Sederhana saja membantahnya, bagaimana mungkin penyerahan bukti dilakukan pasca persidangan? bukankah menguji kebenaran materiil dari sebuah bukti dilakukan di dalam persidangan dengan terlebih dahulu mendengarkan tanggapan Pelapor?

Selain itu, Pasal 31 ayat (5) Pedoman Beracara DKPP sudah menegaskan bahwa penyampaian alat bukti tambahan hanya bisa dilakukan dalam persidangan. Jadi, tindakan majelis jelas diskriminatif dan bertentangan dengan hukum.

Akses khusus dalam bentuk lain terjadi saat keinginan Teradu/Terlapor untuk persidangan digelar secara tertutup dikabulkan oleh majelis pemeriksa.

Penting diketahui, permintaan itu dilakukan tatkala Pelapor ingin menyajikan bukti video yang isinya berupa pengakuan pegawai KPU daerah terkait adanya perintah untuk berbuat curang dari struktural penyelenggara tingkat provinsi dan pusat.

Sikap majelis pemeriksa layak dipertanyakan, sebab, Pasal 2 ayat (1) Pedoman Beracara DKPP telah tegas menyatakan bahwa persidangan kode etik diselenggarakan dengan prinsip terbuka.

Ketiga, sejumlah bukti elektronik berupa video yang isinya dapat membuktikan kecurangan pemilu tidak diputar secara utuh.

Alasannya sangat janggal, yakni, majelis beranggapan sidang sudah melewati batas waktu, sehingga bukti tersebut tidak dapat disajikan dalam proses persidangan.

Padahal, aturan DKPP mewajibkan majelis pemeriksa memberikan kesempatan bagi Pengadu/ Pelapor untuk mengajukan alat bukti. Lagipun kondisi saat itu, terutama waktu, masih terbilang cukup untuk memutar video itu hingga selesai.

Lebih krusial lagi, pembuktian dengan bentuk bukti berupa video harus disertai dengan penjelasan dari Pelapor agar lebih komprehensif.

Permasalahan kompleks terkait dengan dugaan kecurangan pemilu ini tentu tidak bisa dibiarkan.

Terlebih, tahapan pemilu sudah berlangsung dan momen puncak pesta demokrasi tinggal menghitung waktu.

Maka dari itu, peran DKPP amat dibutuhkan untuk membersihkan lembaga penyelenggara dari pihak-pihak yang ingin mencoreng citra pemilu di Indonesia dengan melanggengkan praktik intimidatif, curang, dan penuh manipulasi.

Terakhir, mengingat Rapat Pleno Putusan akan diselenggarakan dalam waktu dekat, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menuntut:

1. DKPP bersikap dan bertindak objektif serta independen dalam menilai pembuktian selama proses persidangan dugaan pelanggaran kode etik.

2. DKPP menjadikan petunjuk sejumlah pemberitaan, baik berbentuk narasi deskriptif maupun video elektronik, yang sudah tersebar luas di tengah masyarakat terkait dengan kecurangan Pemilu.

3. DKPP tidak mengikutkan Anggota Majelis yang terlihat cenderung tidak netral dan obyektif dalam persidangan, dan Anggota DKPP yang merupakan Anggota Ex Offico/ Perwakilan dari KPU RI dalam pengambilan keputusan.

4. DKPP menjatuhkan sanksi berupa Pemberhentian Tetap bagi seluruh Teradu.

Jakarta, 22 Februari 2023

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih

ICW, Perludem, CALS, KOPEL, NETGRIT, PSHK,AMAR Law Firm & Public Interest Law Office, FIK-Ornop,Themis Indonesia Law Firm, PUSaKO FH UNAND, dan PublicVirtue Institute.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *