Farel Dan Republik Dangdut

Farel Prayoga Saat Tampil di HUT RI ke-77
Farel Prayoga

Penampilan Farel Prayoga menyanyikan lagu dangdut koplo “Ojo Dibandingke” bukan saja berhasil meruntuhkan kebekuan formalitas upacara kenegaraan di Hari Kemerdekaan RI ke-77, namun juga menuai viral dengan beragam komentar yang sebagian besar bernada positif.

Nama Farel pun sontak menjadi perbicangan di jagad maya lantaran aksinya yang “menyentuh” dan melipatgandakan kegembiraan pada peringatan ulang tahun kemerdekaan tersebut.

Setidaknya terdapat dua hal menarik yang menyebabkan penampilan Farel di istana sukses membetot perhatian luas dan menjelma sebentuk peristiwa kebudayaan.

Pertama, kuatnya identitas kejelataan dalam genre musik dangdut. Tak dapat dipungkiri, musik dangdut mampu berevolusi dengan sangat cepat.

Karakter dangdut yang inklusif menjadikannya sangat mudah beradaptasi dengan beragam perbedaan. Dengan lincahnya ia ‘berasimilasi’ dengan berbagai genre musik lain seperti rock, reggae, campursari, hingga musik seni tradisional kentrung dan jaranan.

Lebih dari itu musik ini juga di waktu bersamaan secara nyata mampu mengangkat eksistensi dan kepercayaan diri bahasa daerah untuk spill out keluar dari wilayah tradisionalnya dan selanjutnya merembes kedalam kesadaran musikal hampir semua lapisan masyarakat nusantara.

Spirit inklusif dangdut tak berhenti sampai di situ, kemampuan spreed outnya yang luar biasa juga sangat dipengaruhi oleh sistem tradisi “kanibal bertanggung jawab” di antara para musisi pegiatnya.

Bahkan, saat ini sudah sedemikian tak terbatas dimana setiap orang sudah dapat membuat home recordingnya sendiri, mengcover lagu dangdut yang diingininya dan mengunggahnya di kanal-kanal media sosial seperti YouTube, instagram, tiktok dan lain-lain.

Berbeda dengan genre musik lain, dunia pertunjukan dangdut seolah tidak mengenal istilah tabu dalam membawakan karya orang atau kelompok lain.

Meski lirik dan nada pada sebuah lagu sama, namun setiap orang atau kelompok musik dangdut tertentu dapat bereksperimentasi dan menyuguhkan ragam bentuk dan kualitas baru yang berbeda dari lagu yang sama. Kerjasama dan persaingan dalam dangdut nyaris tak dapat dibedakan. Keduanya seolah nge-bland jadi satu tanpa ada pembatas.

Hal ini menjadikan sebuah lagu dangdut, meski sudah jelas siapa pencipta dan pelantun pertamanya, seolah dapat berdiri sendiri dan dimiliki oleh setiap orang secara leluasa.

Karenanya tidak mengherankan jika “industri” musik dangdut memiliki jangkauan luas jika dibandingkan dengan genre-genre lain yang cenderung bersifat eksklusif hingga segmented.

Mungkin dikarenakan keberadaannya dianggap sebagai “musik orang kebanyakan”, maka dangdut cenderung tak pernah benar-benar berhasil menghilangkan citranya sebagai musiknya wong cilik.

Sejumlah musisi dangdut yang coba-coba hendak menepis dan meng-“high class”-kan musik ini, tak ada satupun yang dapat dikatakan berhasil.

Dulu ada Evie Tamala atau entah siapa lagi yang jauh-jauh syuting video clip lagunya di luar negeri dengan latar belakang yang “western”, toh tak meninggalkan jejak apa-apa yang berarti.

Pun Ridho Rhoma yang belakangan berupaya memodernisasi dangdut malah terkesan sekedar mengadakan versi pop saja dari karya-karya monumental bapaknya yang notabene seorang living legendnya dangdut, Rhoma irama.

Di sini agaknya jelas, dangdut adalah dangdut. Karakternya tak dapat dipisahkan dari lanskap kebudayaan lokal masyarakat Indonesia.

Semakin ia dekat dengan lokalitas, semakin ia menemukan frekwensinya secara tepat. Karenanya tak terlalu salah saat Ia disukai, meski sekaligus diam-diam berusaha disembunyikan.

Dalam hal ini Tika project Pop pernah mengungkapkan ironi dari sebuah kebenaran, “Dangdut is the music of my country”. Hebohnya istana yang digoyang koplo kan oleh si kecil Farel memperkuat fakta tersebut.

Kedua, Farel adalah bocah sederhana yang dasarnya sudah memiliki suara yang enak didengar yang kemudian makin terasah kecakapan bernyanyinya akibat dipengaruhi kondisi ekonomi orang tua yang menjadikannya harus mengamen.

Boomingnya lagu-lagu dangdut koplo ambyar berbahasa lokal terutama di Banyuwangi yang tak lain merupakan salah satu kawah candradimuka bagi tumbuh kembangnya industri musik bergenre dangdut berbahasa Jawa-Osing, tak pelak dengan mudahnya menyembulkan sosok Farel yang secara natur sudah inline dengan kecenderungan musikal masyarakat yang ada.

Hal ini ditambah dengan dukungan media sosial yang dengan cepat melesatkan video “drama” Ojo dibandingke”nya dari potongan sebuah pertunjukan dangdut.

Video itupun meluncur cepat dari gawai ke gawai secara luas hingga ditonton jutaan kali.

Dari video itulah suara Farel lantas hinggap ke telinga istana yang buru-buru menjemputnya untuk ditempatkan kedalam rangkaian rundown upacara peringatan kemerdekaan RI ke 77.

Dan sudah dapat diduga bocah kelas enam SD itupun seketika menyihir suasana formal dan mengubahnya menjadi panggung joget khas rakyat jelata.

Bukan saja pertunjukan itu menyenangkan bagi yang hadir, namun juga membekaskan “kebanggaan” tersendiri dalam sanubari masyarakat kebanyakan Indonesia.

“Bagaimana mungkin ada anak kecil nyanyi dangdut koplo di peringatan hari terbesar di istana negara? Bukankah dalam musik itu ada kami? Ya kami telah sampai di istana, dan Farel telah membawanya ke sana. Farel adalah kita!”, begitu kira-kira batin kita sebagai wong cilik.

Suka atau tidak suka, faktanya semua orang dibuat tergoyang di istana pagi itu. Setiap goyangan itu seolah mengandung pesan, “dangdut adalah kejelataan.

Dangdut dan istana negara RI sebenarnya tak punya jarak yang berarti, kecuali engkau hendak “menjauhkannya”.

Dan meski disuguhkan dengan wajah polos dan lucunya, Farel bukan tak sadar nuansa sayatan pada lirik lagu yang dilantunkannya.

Sebuah ungkapan wong cilik yang tulus dan nyaris putus asa menghadapi rezim modal yang hampir pasti menyingkirkannya:

“Wong ko ngene, kok dibandhing-bandhingke, Saing-saingke? Ya, mesthi kalah”

“Tak oyak’a, aku ya ora mampu, Mung sak kuatku mencintaimu”

“Ku berharap engkau mengerti, Di hati ini hanya ada kamu”

“Jelas beda yen dibandhingke, Ora ana sing tak pamerke”

“Aku ra isa yen kon gawe-gawe, Jujur sak anane”

“Sapa wonge sing ra lara ati? Wis ngancani tekan semene”

“Nanging kabeh ora ana artine, Ra ana ajine”

Tentang Penulis: Nur Lodzy Hady adalah pengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pusat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *