IDENTIK.NEWS – Nun jauh di sebelah selatan pegunungan Bolangitang saat ini, ditahun 1600-an ada sebuah negeri yang bernama Kedatuan Mokapog.
Saya tak menyebutnya kerajaan karena pemimpin disitu bukanlah Raja, tapi seorang Dotu yang bernama Tinggulu), hal ini dapat ditelusuri dalam catatan Prof. Dr. Hi. H. T. Usup (almarhum) dalam buku sejarah Kaidipang Besar.
Bukan bermksud memapar sejarah pemerintahan kedatuan Mokapog ditulisan ini, tapi sekedar membicarakan tentang kepercayaan yang mereka (masyarakat Mokapog) anut ketika itu.
Membicarakan sejarah pemerintahan apalagi asal usul sebuah peradaban tentunya membutuhkan konsentransi untuk menulis sejarah, karena sebagian besar sejarah masih berasal dari tradisi bertutur dari zaman ke zaman
Dalam kehidupan religi, sebelum masuknya Islam ke negeri ini, masyarakat Mokapog menganut sebuah sistem kepercayaan kepada Tuhan yang maha esa, yang mereka sebut dalam simbol artikulasi yaitu, OTATOGI.
Ternyata bahwa sebelum masuknya agama yang memberitakan tentang adanya Tuhan, mereka sudah punya naluri kuat untuk mengakui kekuatan di luar alam materi ini, ada suatu zat Maha—Besar—Tunggal—Kuat—Hebat—Pencipta—Menguasai, yang mereka sepakati dan simpulkan dalam sebuah artikulasi kata yang bernama OTATOGI atau Maha Memiliki.
Maka dapat disimpulkan, sebelum mereka mengenal agama, mereka sudah mengenal eksistensi Tuhan. Bukankah Tuhan itu hanyalah satu untuk semua manusia, yang kemudian berbeda adalah soal penyebutan nama dari Manusia yang menjuluki Tuhan dengan berbagai nama sesuai bahasa negeri tempat dia lahir.
Masyarakat Mokapog kala itu sudah pada tingkatan makrifah (pengetahuan.red) tentang adanya Tuhan yang disembah.
Mereka bukanlah masyarakat penganut Dinamisme, karena mereka tak pernah mengagungkan dan memuja benda-benda alam seperti gunung, pohon, batu dan sebagainya justru alam mereka gunakan sebagai sarana berkebudayaan.
Mereka juga bukan penganut Animisme yang menyembah roh nenek moyang. Kalaupun dalam beberapa prosesi adat sering menyebut arwah leluhur, bukan mereka menyembahnya, tapi hanya semata-mata sebuah keyakinan bahwa orang yang telah meninggal, roh (yang mereka sebut Gimukuru) telah menempati alam keabadian dan pararel dengan zaman mereka hidup, (hal ini dapat kita lihat pada ritual doa arwah di bulan Sya’ban)
Datangnya Agama Islam ke daerah ini, tidaklah menjadi sesuatu yang memberatkan untuk diterima penduduk.
Karena sebelum ajaran Islam datang, mereka sudah punya ajaran tentang Tuhan yang mereka yakini. Mereka sudah menganut dan mempraktekan nilai ajaran agama, Mototabiona (ajaran kasih), Mononantobana (Lita’aarafuu), mopopiana (Wata’aawanu ‘alal birri), mokambungo (bermasyarakat), motabi guhango (birrul walidain), moonuko—ko—ota—togi (Taqwa), dan lain sebagainya. Nilai yang mereka sudah anut dan praktekkan dalam kehidupan sehari-hari yang ternyata bersesuaian dengan ajaran agama (bukan lembaga agama).
Sehingga kiranya para pembawa islam ke negeri ini sangat mudah mengislamkan masyarakat disini, tak ada perlawanan, tak ada bantahan, tak ada sejarah ribut-ribut soal agama, tak ada sejarah chaos, tak ada pembangkangan terhadap pendakwah Islam, Semua diterima dengan nyaman dan damai, hal ini sangat berbanding terbalik dengan riwayat kedatangan para Nabi di tanah tempat mereka membawa risalah, seringkali kita baca dalam sejarah, beberapa Nabi pembawa berita tentang Tuhan, justru dihinakan, dinista bahkan hampir dibunuh oleh kaumnya sendiri. Zurriyat keturunan Nabi pun tak luput dari kebengisan di Padang Karbala.
Namun di Mokapog (yang kemudian berkembang menjadi Bolangitang), justru penyebaran agama islam menjadi sangat mudah dan tidak membutuhkan waktu lama hingga dipeluk oleh seluruh masyarakat.
Karena nilai ajaran islam sudah ada dianut sebelum agama masuk dan dipeluk masyarakat. Kepercayaan terhadap Tuhan dan nilai kebaikan sudah datang mendahului datangnya ajaran agama. Penyebar Islam tinggal memoles, pelaha merubah nama Otatogi menjadi Allah, walaupun istilah Otatogi ini masih ada terdengar diucap dalam prosesi adat.
Masyarakat Mokapog bukanlah masyarakat primitif yang menganut Animisme dan Dinamisme, namun mereka punya kepercayaan yang mereka bentuk sendiri dan menjadi perangkat budaya yang mereka anut dan taati yang mengikatkan peri kehidupan mereka pada sebuah tatanan, sistem kepercayaan yang mengiringi setiap fase kehidupan mereka dan menjadikan mereka masyarakat yang beradab.
Tentan Penulis: Penulis adalah Wartawan Jenjang Muda di PWI Bolmut