Ketinggian puncaknya yang mencapai 3478 mdpl, menjadikan gunung Latimojong sebagai daratan tertinggi di pulau Sulawesi.
Para pendaki mengenal puncaknya dengan nama “Rante Mario”. Sementara itu masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai “Batu Bolong” yang artinya “Batu Hitam”. Disebut demikian bisa jadi karena bebatuan di puncak Rante Mario yang sebagian besar kelihatan menghitam.
Makna nama Rante Mario sendiri adalah “Tanah Bahagia”. “Rante” dalam bahasa lokal (bahasa tae’) artinya: tanah lapang dan datar di ketinggian gunung ataupun bukit. Sementara “Mario” artinya: Senang / bahagia.
Letak gunung Latimojong tepat berada di lintasan garis bujur 120 derajat (jika mengacu pada konsensus dunia modern yang meletakkan 0 meridian di greenwich yang memang sejajar dengan maroko dan di masa lalu akrab dengan sebutan “kerajaan barat”).
Anti meridiannya (titik garis bujur 180 derajat) berada di ujung timur, yakni di wilayah Tuvalu (sebuah negara di samudera pasifik).
Dengan pertimbangan bahwa matahari terbit pada ujung timur muka bumi (di wilayah Tuvalu) tepat pada pukul 06:00, dan bahwa 1 jam = 15 derajat (180 derajat = 12 jam), Maka Matahari membutuhkan waktu 4 jam untuk bergerak ke arah barat dan terbit di wilayah gunung Latimojong yang berjarak 60 derajat ke arah barat dari Tuvalu.
Ketika terbit fajar di wilayah gunung Latimojong, di saat yang bersamaan di Tuvalu telah menunjukkan jam 10 pagi. Hitungan inilah yang menjadi alasan orang-orang di masa kuno menyebut wilayah Latimojong atau wilayah Nusantara secara luas sebagai “negeri pagi” atau “negeri sabah” (“sabah” dalam bahasa arab artinya “pagi”. Sabah memiliki keterkaitan bentuk dengan kata “subuh” dalam bahasa Indonesia).
Hari ini, sebutan toponim “sabah” yang dapat ditemukan di beberapa tempat di nusantara (seperti wonosobo di pulau Jawa, atau sabah di pulau kalimantan), menjadi dasar klaim sebagian orang bahwa nusantara adalah negeri sabah yang disebut dalam beberapa kitab suci sebagai negeri Ratu Balqis di masa Nabi Sulaiman.
Sementara itu di masa sekarang, di pulau Sulawesi tidak ditemukan lagi toponim Sabah. Yang paling mendekati mungkin adalah toponim “Padang Sappa” yang berada di kabupaten Luwu.
Namun demikian, di pulau Sulawesi masih ada satu nama wilayah (toponim) yang sangat jelas bermakna “pagi”, yaitu: Makale. Dalam bahasa tae’ “makale” artinya “pagi”.
Makale saat ini merupakan nama ibukota kabupaten Tana Toraja. Sebagian kaki gunung Latimojong di bagian utara masuk dalam kawasan administrasi kabupaten Tana Toraja.
Baca Juga: Punyhabhoomi: Tanah Orang Bijak, Peramal Besar dan Orang Bijak
Jadi, asal usul nama “Makale” sesungguhnya berasal dari pemaknaan orang-orang di masa kuno bahwa wilayah tersebut adalah merupakan kawasan “negeri pagi”. Karena ketika matahari terbit di wilayah ini, di saat yang bersamaan, di ujung timur (tempat pertama kali matahari terbit) telah menunjukkan jam 10 pagi.
Jika dijabarkan dalam pemahaman arah jarum jam sebagai arah penunjuk mata angin, di mana jam 06:00 (pagi) mewakili arah timur, jam 12:00 (tengah hari) mewakili arah utara, jam 18:00 (petang) mewakili arah barat, dan jam 24:00 (tengah malam) mewakili arah selatan, maka jam 10:00 (pagi) dapat dikatakan mewakili arah timur laut.
Sehingga dengan demikian, di masa kuno, selain disebut sebagai “negeri pagi”, wilayah Nusantara kadang juga disimbolisasikan dengan sebutan “negeri timur laut”.
Pemahaman ini bisa jadi merupakan jawaban untuk pertanyaan: mengapa batu hajar aswad dan titik awal memulai tawaf berada di sisi timur laut Ka’bah?
Yaitu bahwa “titik timur laut” (Nusantara) merupakan titik awal peradaban manusia. Titik awal semula bermula.
Tujuh kali putaran tawaf pada dasarnya adalah simbolisasi perputaran matahari mengelilingi bumi selama 1 minggu (7 hari). Ini tergambar dari jumlah 360 buah berhala yang terdapat di Ka’bah sebelum Islam datang (infonya bisa dibaca di sini). 360 buah berhala tersebut pada dasarnya mewakili jumlah sudut dalam satu lingkaran penuh.
Demikianlah, tiba pada titik pemahaman ini tentu saja akan menggoda imajinasi kita untuk mengaitkan adanya hubungan antara nama “hajar aswad” yang artinya “batu hitam” dengan nama puncak latimojong yang oleh masyarakat setempat menyebutnya “batu bolong” yang juga artinya “batu hitam”.
Dan mitos yang menyebutkan jika hajar aswad adalah batu yang berasal dari surga, secara kebetulan ada pula kesamaan dengan makna nama lain puncak latimojong, yaitu “Rante Mario” – yang artinya adalah “tanah kebahagiaan” – yang mana merupakan bentuk kalimat naratif untuk kata “surga”.
Apa pun itu, faktanya, mengungkap rahasia kuno yang terpendam di gunung Latimojong membuka jalan memahami beberapa hal yang selama ini menjadi teka-teki yang tidak terpecahkan.
Penulis Merupakan Penjelajah dan Pengumpul Esensi. Artikel ini telah tayang di La Patikala Literasi