Indonesia pernah mengalami era perdagangan budak pada abad ke-17 dengan semakin berkembangnya perdagangan perbudakan di kawasan Samudera Hindia.
Perkembangan Belanda mengembangkan pengaruh kemaritimannya pada akhir abad ke-16, membagi dunia perdagangan di antara perusahaan Hindia Barat Belanda, di mana memantau kekuasaan di benua Amerika dan VOC di Asia.
Dalam buku Kleurrijke Tragiek: Degeschiedenis van Slavernij in Azia, VOC mengepalai perdagangan budak baik dari orang Eropa dan Asia di Batavia pada abad ke-17.
Perdagangan budak adalah yang didapatkan dari tahanan yang didapat dari Ambon, Ternate, Bali, Kalimantan, Bengal, Madagaskar, dan negara lainnya, yang kemudian diperdagangkan.
Perdagangan budak sendiri bukanlah suatu hal yang baru, dengan banyak suku di Indonesia sudah menerapkan perbudakan.
Seperti contoh, terdapat banyak perang antara pemimpin lokal di Sulawesi, tentara dari pihak yang kalah akan ditangkap dan kemudian dijual menjadi budak.
Namun perdagangan budak sebelum kedatangan bangsa Eropa hanyalah bersifat lokal dan terbatas secara skala.
Ketika bangsa Eropa datang, perdagangan budak menjadi lebih besar dan semakin menguntungkan.
VOC membutuhkan budak untuk membangun benteng dan kota, kerja di perkebunan, kantor dan perumahan. Budak tidak hanya dijual secara lokal, namun di seluruh kepulauan Nusantara dan di luarnya.
Diantara 660,000 hingga 1,135,000 budak dikirim ke dalam dan keluar pedari kekuasaan VOC di Asia sepanjang abad ke-17 dan 18.
Perdagangan budak di Asia Tenggara mencapai puncaknya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ketika kapan lanong dan garay dari orang Iranun dan Banguingui mulai melakukan pembajakan dan penyerangan pemukiman pesisir.
Untuk budak dan menjarah seluruh Asia Tenggara dari daerahnya di Kesultanan Sulu dan Maguindanao.
Diestimasi dari 1770 hingga 1870, terdapat 200,000 hingga 300,000 orang yang diperbudak oleh orang Iranun dan Banguingui.
Mereka datang dari Selat Malaka, Jawa, pesisir selatan Tiongkok dan kepulauan setelah Selat Makassar.
Skala perbudakan ini sangat besar hingga kata dari “pembajakan” dalam bahasa Melayu menjadi Lanun, yaitu panggilan lain dari orang Iranun.
Terdapat beberapa tahanan Tionghoa dan Eropa yang kemudian ditebus melalui perantara di Kesultanan Sulu.
Perdagangan ini kemudian semakin surut pada pertengahan abad ke-18 dengan ditumpasnya perdagangan budak oleh bangsa Eropa melalui kapal perang bertenaga uap.
Yang kemudian semakin hilangnya praktik perbudakan di Indonesia, mengingat pada masa itu bangsa Eropa sudah mulai melarang praktik perbudakan dan menegakkan aturan anti-perbudakan di seluruh daerah koloninya, terutama di Indonesia.
Penulis merupakan mahasiswa semester 1 di Universitas Diponegoro jurusan Ilmu Pemerintahan